Hukum Talion

Hukuman mati merupakan sebuah aplikasi konsep keadilan warisan hukum Talion Yahudi. Dalam hukum itu keadilan diartikan sebagai usaha membebankan kepada pelaku sepadang dengan apa yang dilakukannya. Kejahatan menghabiskan nyawa orang perlu dibayar dengan nyawanya sendiri, atau sejalan dengan prinsip: mata ganti mata, gigi ganti gigi.
Sepintas, aplikasi konsep seperti ini kelihatan sah-sah saja. Keluarga korban sebagai pihak yang paling merasakan kehilangan, meminta sebuah balasan dendam yang sepadan. Dalam konteks ini, sebuah hukuman mati ternyata tidak dilaksanakan sebagai proses penyadaran terhadap pelaku, melainkan sebuah legalisasi terhadap balas dendam. Pelaku sendiri, sebagaimana ditulis Beccaria Cesare dalam "De la Pena de la Muerte", Revista Mexicana de Justicia: 1993, merupakan orang yang paling sedikit merasakan penderitaan itu.
Memang ada konflik dialami pelaku menjelang eksekusi. Tetapi setelah dentuman meriam yang mengakhiri hidupnya, proses penderitaan itu pun berakhir. Pada sisi lain, keluarganya yang ditinggalkanlah yang mengalami penderitaan itu. Jelas, hukuman mati, sebuah konsep kedilan yang salah sasaran. Ia menghukum orang tak bersalah, sambil tidak memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengalami penderitaan itu dalam proses yang lama. Inilah kontradiksi. Hukuman mati dinilai absurd karena merupakan ekspresi kehendak publik untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi pada saat yang bersamaan menjadiakan mereka sebagai pelaku kejahatan itu sendiri.
Kekeliruan Yudisial
Salah satu alasan penolakan terhadap hukuman mati, demikian informasi yang disajikan oleh Amnesti Internasional adalah fakta tentang terbuktinya tidak sedikit kasus yang setelah melewati proses waktu ternyata tidak sedikinya mendapatkan informasi yang meringankan, bahkan membebaskan.
Menurut data yang dipublikasikan oleh Inspite of Innocence yang diterbitkan oleh Northeastern University Press, Boston: 1992, semenjak tahun 1900, terdapat sekitar 350 kasus yang setelah proses waktu, jeratan kepada terdakwa berhasil dilepaskan oleh penemuan novum yang meringankan, malah membebaskan mereka sama sekali. Sayangnya, dua puluhan orang tidak bisa mengalami iklim kebebasan karena sudah terlanjut dieksekusi.
Deretan kekeliruan ternyata masih bisa diperpanjang, ketika diperoleh indikasi aplikasi diskriminatif d dalam penerapan hukuman mati. Di AS, ternyata warga kulit hitam lebih banyak menderita. Dengan esensi kejahatan yang hampir sama bila dilakukan oleh warga kulit putih, tetapi bagi mereka tidak ada ampun. Apalagi kenyataan lain mengaitkan mereka dengan minimnya dana untuk dapat membayar advokat yang bisa memperjuangkan status ketidakbersalahan.
Memang ada kasus seperti yang dialami O.J. Simpson. Ia merupakan seorang pemain sepak bola (footbal dan bukan soccer). Meskipun dari ras negro tetapi karena memiliki latar belakang ekonomi yang cukup, dia dapat membayar pembela-pembela kawakan yang akhirnya melepaskan dirinya dari jeratan hukum.
Dalam kasus seperti ini, menurut Amnesti Internasional, latar belakang ras, asal etnis dan terutama alasan ekonomis merupakan faktor yang dengan mudah menjebloskan seseorang ke panjara, dan terutama menghantarnya ke kursi listrik yang mematikan.
Fakta seperti ini sudah disadari. Karena itu, saat Brian Baldwin digiring ke kursi listrik pada tahun 1999, tidak kurang dari 26 anggota dari Komisi Negro di Kongres Washington menyerukan agar dibatalkan hukuman itu. Namun, hal itu tidak digubris sama sekali oleh negara Paman Sam yang katanya sangat 'concern' terhadap persoalan HAM internasional. Bahkan seruan Mahkama Internasional dari Belanda pun tidak pernah didengarnya. Apa yang telah diputuskan oleh 'Bapa Maha Kuasa' dari Washington, tidak bisa ditawar-tawar.

Di tengah protes tanpa lelah dari Amnesti Internasional oleh semakin banyaknya tragedi hukuman mati, karena semenjak tahun 1976 hingga tahun 2000 saja terdapat 683 terdakwa (85 kasus terdapat pada tahun 2000), namun China, AS, dan Kongo yang memiliki 85 persen dari total hukuman mati tidak pernah menggubrisnya. Bagi mereka, hukuman mati harus tetap dilaksanakan karena hal itu dapat membuat jerah para penjahat. Dengan itu pula, masyarakat luas dapat 'disadarkan' untuk tidak melakukan kisah serupa.
Masalahnya, kejahatan yang dilakukan dalam masyarakat, tidak tumbuh secara terancana. Dengan demikian akar-akarnya dapat dicabut, saat sebuah kasus serupa terjadi. Kejahatan dalam bentuk apapun, terutama berkaitan dengan upaya menghabiskan nyawa orang lain merupakan produk momental, saat akal sehat tidak lagi mengendalikan emosi. Lebih lagi ketika sirkumstansi mendukung. Untuk itu, hukuman mati tidak akan mengurangi apalagi menghapus sama sekali kejahatan seperti itu.
Di New York, sebagaimana ditulis Jager Christian dalam La Pena de Muerte en el Sistem de los Fines de la Pena: Problemas Fundamentalis de la Politica Criminal y Derecho Penal: 2002, antara tahun 1903 sampai 1963 justru terjadi dua kasus kriminal serupa dalam sebulan, setelah sebuah eksekusi mati dilaksanakan. Sementara itu, menurut Barreda Solorsano. Dalam bukunya Sin Razon de la Pena de Muerte: 1992, semenjak Belanda menghapus hukuman mati pada tahun 1879, tingkat kejahatan tidak mengalami grafik naik. Yang pasti, pelaksanaan eksekusi mati, tanpa disadari telah menambah daftar panjang orang yang hidupnya diakhiri secara sangat sadis.
Beri Waktu Mencermati refleksi ini, tidak ada kesimpulan yang lebih tepat selain memberi waktu. Hal itu dimaksud agar tindak kriminal itu dapat disadari oleh pelaku sebagai sebuah kejahatan. Sebaliknya mempercepat eksekusi, apalagi di tengah pengakuan terdakwa tentang ketidakterlibatannya, hanya akan menanamkan benih dendam dalam diri keluarga yang ditinggalkan. Dalam benak mereka selalu terngiang kekesalan tentang kerabat mereka yang hingga Guillotine mendekati lehernya, mereka secara sadar tidak mengakui keterlibatannya.
Pada sisi lain, apabila sebuah kejahatan yang secara kasat mata dilakukan (tetapi tidak diakui secara jujur) maka dengan memberi waktu, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bersalah. Dan yang terpenting, kesadaran itu perlu diikuti oleh proses pembinaan untuk kembali memeluk nilai-nilai kemanusiaan yang nota bene sudah dilukainya. Tujuan penyadaran seperti inilah yang telah menjadi salah satu alasan mengapa 'penjara atau bui' telah diganti namanya menjadi "Lembaga Pemasyarakatan". Maksudnya, agar pribadi yang dulunya sangat antisosietas, dihantar untuk kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab.
Untuk masyarakat, bahkan negara, ia pun diuntungkan oleh pemberian kesempatan dan waktu kepada terdakwa. Ia dapat memperoleh informasi sebanyak mungkin dan menggali sedalam mungkin akar penyebabnya. Kehadiran novum yang meringankan (apabila ada), dan terutama meneliti sambil merefleksi akar-akar kejahatan, merupakan hal yang paling mendasar bagi sebuah masyarakat. Di sana negara pun dapat mengambil langkah-langkah bijak untuk dapat mengurangi kejahatan lewat usaha menyempitkan peluang kejahatan. Sebaliknya, mempercepat hukuman mati, maka tanpa disadari, kita seakan hanya menggali dan menutup lubang kriminalitas, tanpa usaha mencari solusi yang lebih tepat.***
Dalam Islam disebutkan seseorang yang sengaja menghilangkan nyawa
orang lain akan mendapat hukuman mati. Secara kritis, rakyat bertanya apa substansi proses hukum dan pengadilan kalau vonis yang ditetapkan tidak mencerminkan duduk perkara melalui fakta-fakta (novum) yang muncul dalam tahap persidangan. Di manakah wujud pertanggungjawaban hukum secara yuridis, sosiologis dalam filosofis kepada masyarakat umum dan secara khusus terhadap obyek hukum. Padahal kriteria kualitas hukum bukan semata ditentukan pada bobot hukuman, lebih daripada itu sejauhmana tercipta interaksi sadar dari bobot hukum yang ditetapkan bagi keadilan dan kemaslahatan bersama. Di sini masyarakat kian pesimis terhadap blue print hukum kita, karena keadilan lebih diukur dari pandangan status yang memberi peluang terciptanya kompromi berdasarkan kepentingan tertentu. Keadilan versi hukum kita lebih membanggakan dirinya dalam distorsi kebenaran yang tidak jelas titik keberpihakannya. Akibatnya runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Sejatinya yang lebih penting dari penegakan hukum adalah budaya hukum/persepsi publik terhadapnya (Friedman, 1997). Persepsi hukum akan menentukan nasib dan kredibilitas hukum dalam mengefektifkan kinerja dan otoritasnya di hadapan publik. Hukum yang tidak mendapat respek dalam masyarakat akan menjerumuskan warga dalam ruang publik yang penuh dengan kekacauan, tanpa ada aturan dan kontrol. Sehingga yang berlaku adalah hukum homo homini lupus.
Moment kemerdekaan tiap tahun beserta seremoni nasionalik-patriotik tidak bisa mensubstitusi upaya rakyat kecil 'mengemis' keadilan sebagai wujud kemerdekaan kebenaran, tempat seluruh rakyat, bangsa berlindung. Keputusan pengadilan dan proses peradilan berwibawa sekalipun, bukanlah instrumen sakral yang bisa menutup diri terhadap fakta-fakta di luar yang 'membening' dalam realita kelayakan sosial (opini Timex, 5/8/06). Karena dengan begitu efektivitas hukum meradang dalam kematian. Pemerintah (aparat hukum), mestinya menyadari eksekusi mati terhadap siapa saja, menandai dalamterjadi sistematisasi pemunafikan diri yang mencoba mengkambinghitamkan rakyat-rakyat kecil akibat kebijakan yang salah di masa lampau demi menyelamatkan muka pemerintah melalui imperasi sistem hukumnya.
Ketua Komite Pembaruan Peradilan Indonesia, Paskalis Pieter, mengatakan, eksekusi mati merupakan simbol sejati hanya mengedepankan kepastian hukum tetapi mengabaikan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Karenanya adalah lebih proporsional bagi pemerintah untuk membatalkan semua rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati sehubungan dengan keterlibatannya dalam sebuah peristiwa untuk secara jeli dan akurat mengungkap siapa sebenarnya aktor intelektual di balik sebuah peristiwa.
Lambannya pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana kasus terorisme disebabkan UU Nomor 3 Tahun 1950 , UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak tegas mengaturnya. Meski sudah direvisi, soal waktu sama sekali tidak dibatasi. Selain itu, juga ada ketentuan yang menyebutkan pihak keluarga dapat mengajukan grasi di luar sepengetahuan dari terpidana mati.
Sesuai Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, presiden dapat memberikan grasi kepada terpidana dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan, permohonan grasi diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya kepada presiden. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
Metode tembak mati bagi narapidana yang dijatuhi hukuman mati akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Metode tembak mati ini dinilai memberikan celah penyiksaan dan melanggar hak asasi manusia.
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Mati akan dilakukan oleh Tim Pembela Muslim (TPM) yang selama ini mendampingi terpidana mati.
TPM menemukan ada persoalan dalam UU Nomor 2/PNPS/1964. Dari sisi materiil, tata cara hukuman mati dengan cara menembak telah menyisakan penyiksaan yang jelas-jelas melanggar Pasal 28 I UUD 1945. "Secara materiil, undang-undang itu secara normatif mengakui adanya penyiksaan, yaitu dengan kalimat narapidana yang dihukum mati akan ditembak sekali, namun jika tidak berhasil, maka akan ditembak dua kali,"


Walaupun negara – Negara didesak menghapus hukuman mati oleh para aktifis HAM, tetap ada perbedaan besar antara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dengan Negara lain.
Kebijakan hukuman mati di Negara lain merupakan kewenangan negara bagian dan
prosesnya sangat transparan dan terkontrol. Walaupun para aktifis HAM
tak mampu merubah atau menghapus hukuman mati akibat dukungan
mayoritas penduduk suatu negara bagian, paling tidak mereka masih
memonitor eksekusi hukuman mati tersebut apakah 'sesuai' atau 'tak sesuai'
HAM. Misal alat dan bahan eksekusi sangat selektif dan setelah
eksekusi, mayat para tereksekusi harus divisum secara independen oleh
rumah sakit
Di mana gara - gara eksekusi dg kursi listrik pernah menyebabkan terjadinya kebakaran (yg mengakibatkan tereksekusi merasakan 'derita rasa sakit' akibat api kebakaran, suatu
'pelanggaran' HAM di akhir kehidupan tereksekusi), maka pada tahun
2000 di negara bagian Florida, eksekusi dengan kursi listrik dihapus dan
diganti dengan injeksi/ suntikan mematikan. (Ini adalah ilustrasi
bagaimana selektifnya mereka memilih alat eksekusi).
Tetapi sekarang, gara-gara ada seorang tereksekusi membutuhkan waktu 24
menit (seharusnya cuma 15 menit) untuk mati setelah disuntik dan
diduga ia merasa kesakitan dalam waktu lama sebelum mati, maka
pelaksanaan hukuman mati di Florida dan California untuk sementara
saat ini ditunda (sampai ada kebijakan cara atau bahan injeksi baru
sehingga para aktifis HAM merasa yakin bahwa para tereksekusi tidak
merasakan kesakitan yg berkepanjangan sebelum mati).
Mungkin ada yang menyimpulkan bahwa dengan 'perjuangan' oleh
para aktifis HAM seperti di atas, maka para aktifis HAM tersebut telah membela
kejahatan. Jika anda berkesimpulan demikian, maka anda membuat
kesimpulan berbasis asosiasi (sama dengan berbagai kesimpulan- kesimpulan tak valid
dalam topik poligami). Padahal inti filosofi para pembela HAM
narapidana adalah, pembalasan (dendam) terhadap seorang narapidana pelaku
kejahatan tak akan menghapus kejahatan itu sendiri (misal. eksekusi terhadap
seorang pembunuh tak akan membuat korban yang terbunuh akan hidup kembali).
Waktu tak bisa diputar kembali, Jangan pula membuat kesimpulan
bahwa setelah si pembunuh di ekskusi mati, maka nyawa si korban pun
bisa tertawa senang 'melihat' ekskusi tersebut. Kesimpulan yang lebih mungkin
benar, eksekusi berbasis balas dendam akan menyuburkan prilaku negatif
karena oranga yang memendam dendam dimotivasi untuk merasakan 'kepuasan'
(dan untuk tertawa?) terhadap penderitaan orang lain, walaupun orang lain
yang menderita tersebut adalah seorang penjahat.
HAM Secara Umum
Sayangnya, sistem hukum dan praktek perlindugan HAM yang bagus di
Amerika hanya berlaku untuk warga Amerika. Bahkan presiden Bush pun tak
mau para 'detainees' di Guantanamo berada di dalam sistem hukum
Amerika dengan mendeklarasikan bahwa Guantanamo berada di luar sistem
hukum Amerika. Sebab jika para 'detainees' dianggap berada dalam
sistem hukum Amerika, maka para 'detainees' memiliki banyak hak-hak (misal.
wajib didampingi pengacara ketika diinterogasi) yang membuat pemerintah
Bush akan kerepotan menangani mereka.
Karena deklarasi presiden Bush ini sudah digugurkan oleh beberapa
keputusan pengadilan Amerika, pemerintah presiden Bush pun secara buru-buru
tetap secara rahasia memindahkan sebagian 'detaines' ke penjara-penjara di
Eropa, sebagian besar di antaranya adalah penjara-penjara di negara bekas
komunis yang sudah diterima di Uni Eropa (maklum badan-badan intelejen di
Negara-negara ini masih cukup berjaya seperti kejayaan mereka di era komunis dulu).
Karena inilah, parlemen Uni Eropah pun harus melakukan penyelidikan
kebenaran adanya penjara-penjara rahasia yang terdapat di dalam wilayah
beberapa Negara-negara anggotanya.
Siapapun yang muncul sebagai terorist tak boleh diberi ampun karena
manusia teroris ini diimani oleh pembunuhan-pembunuhan yang tak kenal ampun.
Menghukum terorist berarti mencegah bertambahnya korban-korban terror-teror
pembunuhan berlanjut.
Dunia tidak hitam putih, tak ada orang yg 100% baik (menjadi
manusia seutuhnya?) atau 100% jahat. Demikian pula tak ada
pemerintahan yang 100% sempurna atau 100% bobrok. Semua bagian harus
dilihat secara terintegrasi. Keburukan yg ada di satu bagian mungkin
akibat keburukan di bagian lain. Jadi, jangan pernah membenci atau
memuja seseorang secara mati-matian. Demikian pula, jangan terlalu
mengagung-agungkan atau menjelek-jelekan suatu negara (termasuk negara
sendiri) secara mati-matian.
Penundaan eksekusi harus ditolak, sama halnya dengan terorisme tak
pernah ditunda, kenapa kita harus menunda hukuman mati-nya???
Tegaknya hukum oleh pemerintah dalam ujian, dunia semua menyaksikan
keseriusan pemerintah RI dalam menumpas terorist. Kepercayaan pasar
diuji disini.
Betul, hukuman mati bukan solusi, tapi mengurangi problem.
Tetapi, menghapuskan hukuman mati selain menambah problem, juga
menambah sulit solusi.
Selama proses itu banyak pihak yang meminta agar eksekusi segera
dilaksanakan. Namun, ada juga beberapa pihak yang menghendaki agar
eksekusi ditunda atau bahkan dibatalkan; atau hukumannya diubah menjadi
hukuman seumur hidup.
Beberapa alasan dikemukakan untuk menolak hukuman mati, di antaranya
karena ia bertentangan dengan prinsip dan norma HAM. Alasannya, setiap
orang memiliki hak hidup dan tidak dibenarkan siapapun mencabut hak itu
dalam keadaan apapun. Hukuman mati dianggap sebagai hukuman paling
kejam dan tidak manusiawi. Negara tidak boleh merampas hak atau
memerankan diri sebagai 'tuhan' untuk menentukan batas hidup seseorang,
karena hak untuk itu hanyalah milik Tuhan. Ada juga
yang beralasan, hukuman mati tidak akan
menghilangkan kriminalitas, khususnya pembunuhan, karena banyak faktor
yang menyebabkan terjadinya kriminal-termasuk kemiskinan-belum
terpecahkan.
Dalam penolakan hukuman mati, adanya
unsur politik tampak menonjol, karena yang dominan diributkan hanyalah
hukuman mati. Kalaupun pada akhirnya,ikut disuarakan maka itu terjadi setelah ada kritikan. Penolakan
hukuman mati itu juga terlihat lebih dilandasi oleh ide sekularisme,
kebebasan dan HAM. Penolakan hukuman mati itu mencakup juga semua
konsepsi pidana yang di dalamnya terdapat hukuman mati, termasuk
konsepsi pidana Islam (syariah Islam). Karena itu, ada kesan, penolakan
itu juga ditujukan terhadap hukum dan syariah Islam.
Logika Keliru
Jika dengan alasan HAM berupa hak hidup seorang terpidana yang telah
terbukti melakukan pembunuhan secara sengaja-hukuman mati dipersoalkan,
lantas bagaimana dengan hak hidup korban, apalagi dalam jumlah ribuan?
Bagaimana dengan keluarga korban yang anggota keluarganya telah
dirampas hak hidupnya, sementara si perampas justru dilindungi dari
hukuman mati dengan alasan HAM? Tampak, penolakan hukum mati itu lebih
untuk menyelamatkan nyawa pelaku tetapi mengabaikan hak hidup dan hak
keluarga korban, di samping juga berpotensi untuk mengancam hak hidup
masyarakat.
Dengan ditiadakannya hukuman mati, seseorang bisa saja tidak takut
membunuh orang lain, karena toh ia tidak akan dihukum mati. Lebih dari
itu, peniadaan hukuman mati berpotensi membuat orang tidak takut
membunuh orang lain. Akibatnya, masyarakat direnggut haknya untuk
mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman pembunuhan.
Hukuman mati atas pelaku pembunuhan yang disengaja-apalagi jika
korbannya banyak-dianggap kejam dan tidak manusiawi. Padahal bukankah
penolakan yang mengabaikan hak hidup korban dan hak keluarga korban
serta mempertahankan potensi ancaman atas nyawa orang banyak justru
lebih kejam dan lebih tidak manusiawi?
Alasan bahwa negara tidak boleh merampas hak Tuhan juga terkesan klise.
Sebab, saat mereka meneriakkan alasan itu sesungguhnya mereka sedang
menyuarakan sekaligus mendorong agar manusia merampas hak Tuhan dan
memposisikan diri sebagai Tuhan, dengan jalan membuat hukum dan aturan
sendiri bagi manusia. Akhirnya, nama Tuhan hanya diperalat untuk
menyuarakan ide sekular, kebebasan dan HAM.
Hukuman Mati dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja
merupakan ketentuan dari Allah SWT.

0 komentar:

Posting Komentar

isi komentar anda yang sopan dan jujur ya!!!!

BM
krelzz