cara sukses Melawan HIV

Solusi Islam Mengatasi HIV/AIDS

Fakta Pengidap HIV/AIDS

Sebanyak 51 dari 100 remaja perempuan tidak lagi perawan. Itulah hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek).  Rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun.

Temuan serupa terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen dan Jogjakarta 37 persen. Menurut dia, data ini dikumpulkan BKKBN sepanjang kurun waktu 2010 saja. Entahlah, berapa persentasenya jika survey dilakukan di kalangan remaja laki-laki. Penulis yakin, remaja laki-laki yang sudah tidak lagi perjaka sebelum menikah, pasti lebih besar persentasenya.

Maraknya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja, berbanding lurus dengan infeksi HIV/AIDS. Data Kemenkes pada pertengahan 2010, di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun (48,1 persen) dan usia 30-39 tahun (30,9 persen). Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak ada di kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan IDU atau jarum suntik (40,4 persen).

Fenomena free sex di kalangan remaja, menurut dia, tak hanya menyasar pada kalangan pelajar, tapi juga jamak didapati di kelompok mahasiswa. Dari 1.660 responden mahasiswi di kota pelajar Jogjakarta, sekitar 37 persen mengaku sudah kehilangan kegadisannya. Menurut dia, di samping masalah seks pranikah, remaja dihadapkan pada dua masalah besar lainnya yang terkait dengan penularan HIV/AIDS, yakni aborsi dan penyalahgunaan narkoba.

Data Kemenkes memang menyebutkan bahwa pertumbuhan jumlah pengguna narkoba di Indonesia saat ini mencapai 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antaranya atau 2,5 juta jiwa adalah remaja.Sementara tingkat kehamilan di luar nikah yang mencapai 17 persen tiap tahun, bermuara pada praktik aborsi hingga rata-rata mencapai 2,4 juta jiwa per tahun.

BOBROKNYA MORAL

Jumlah kasus yang terdata seperti dipaparkan di atas, tentunya belum mencerminkan keadaan sebenarnya, melainkan sebagai fenomena gunung es. Realitas di lapangan angkanya pasti jauh lebih banyak, mengingat belum semua orang dengan HIV/Aids (ODHA) terdeteksi. Di antaranya karena keengganan memeriksakan diri.

Nah, berkenaan dengan Hari AIDS Sedunia 1 Desember, tahun ini mengambil tema "peningkatan hak dan akses pendidikan untuk semua guna menekan laju epidemi HIV di Indonesia menuju tercapainya tujuan Pembangunan Milenium (MDGs)".

Pendidikan berkualitas diyakini mampu membantu generasi muda untuk membentengi diri dari berbagai macampenyakit, termasuk HIV dan AIDS sejak usia dini. Karena itu pendidikan pencegahan HIV dan AIDS secara berkelanjutan perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari upayauntuk mencapai target MDGs tahun 2015.

Lantas pendidikan seperti apa yang mampu mencegah penularan HIV/Aids? Padahal secara realita, program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual yang digagas oleh sejumlah LSM dan Kementrian Kesehatan bukan menambah mengurangi jumlah, malam menambah jumlah pengidap epidemi.

PENCEGAHAN

Sejatinya, upaya pencegahan penularan HIV/Aids terus gencar dilakukan. LSM-LSM telah banyak yang memberikan edukasi kepada mereka-mereka yang rentan terkena HIV/Aids. Seperti penyuluhan pada para pelaku seks aktif, seperti Pekerja Seks Komersial (PSK).  Pengetahuan tentang HIV/Aids pun telah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Misalnya dikemas dalam materi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah.

Sayang, materi penyuluhan tentang HIV/Aids untuk masyarakat umum maupun pelajar itu minus muatan moral dan agama. Bahkan faktor moral dan agama sengaja dihilangkan dan sama sekali tabu dibicarakan, karena menurut mereka, HIV/Aids sekadar fakta medis yang tidak bisa dikait-kaitkan dengan moral dan agama.

Padahal, akar munculnya penyakit HIV/Aids memang terkait dengan perilaku sosial yang erat kaitannya dengan moral. Sebab jika ditelusuri, munculnya HIV/Aids terjadi karena aktivitas sosial yang menyimpang dari tuntunan agama.

Ingat, virus mengerikan ini pertama kali ditemukan tahun 1978 di San Fransisco Amerika Serikat pada kalangan homoseksual, suatu perilaku yang ditentang dalam agama manapun. Di Indonesia kasus HIV/AIDS ini pertama kali ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1981. Kita tahu, bagaimana perilaku seks turis asing, meski tak semuanya memang penganut seks bebas. Karena itu, minusnya muatan agama dalam kurikulum penyuluhan HIV/Aids dipastikan tidak akan membuat upaya pencegahan penyebaran HIV/Aids efektif. Bahkan, bisa dibilang sia-sia. Buktinya, makin gencar pencegahan HIV, makin meluas penularannya.

SOLUSI SEMU

Sementara itu, gagasan pencegahan HIV/Aids yang bersumber dari UNAIDS (United Nation Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan WHO melalui PBB juga tampak tidak mengakar.

Dalam kampanye pencegahan HIV/Aids, ada istilah ABCD. Ringkasnya, A=Abstinence alias jangan berhubungan seks; B=Be faithfull alias setialah pada pasangan, C=Condom alias pakailah kondom, atau D=no use Drugs atau hindari obat-obatan narkotika.

Solusi yang ditawarkan tampaknya bagus. Namun, pada realitasnya program kondomisasi lebih menonjol. Padahal, orang bodoh pun tahu bahwa menyodorkan komdom sama saja dengan menyuburkan seks bebas. Apalagi, faktanya kondom justru dibagi-bagikan di lokasi-lokasi prostitusi, hotel dan tempat-tempat hiburan yang rentan terjadinya transaksi seks. Apa namanya kalau bukan menganjurkan seks bebas?

Selanjutnya, karena penularan HIV/Aids banyak terjadi pada pengguna narkoba terutama suntik, maka untuk mencegah penggunaan narkoba, para pecandunya diberi solusi dengan substitusi metadon. Metadon adalah turunan dari narkoba (morfin, heroin dkk) yang mempunyai efek adiktif (nyandu) dan menyebabkan "loss control" (tidak mampu mengendalikan diri). Dengan dalih agar tidak menggunakan narkoba suntik  metadon pun ditempuh karena metadon melalui mulut.  Padahal, "loss control" dapat menyebabkan perilaku seks bebas sebagai transmisi utama penularan virus HIV/AIDS.

Lebih ironis lagi adalah legalisasi penggunaan jarum suntik pada pecandu narkoba, dengan dalih agar tidak terjadi penggunaan jarum suntik secara bersama-sama. Padahal, langkah ini justru akan melestarikan penggunaan narkoba suntik. Siapa yang bisa menjamin jarum suntik akan digunakan sendiri? Sebab, fakta menunjukkan pengguna narkoba biasanya hidup berkelompok.

SOLUSI FUNDAMENTAL

Media utama penulatan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu sendiri. Hal ini dapat diselesaikan dengan memberikan pendidikan agama terkhusus islam dan mengembalikan metode hubungan antara laki-laki dan perempuan kepada tempatnya semula yaitu hukum asal terpisah dengan hanya membolehkan dalam perkara – perkara umum saja dimana laki-laki dan perempuan dapat berinteraksi bersama.

Di sisi lain, seks bebas muncul karena maraknya rangsangan-rangsangan syahwat. Untuk itu, segala rangsangan menuju seks bebas harus dihapuskan. Negara wajib melarang pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya. Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku menyimpang seperti homoseksual. Apalagi kekinian media film Indonesia marak menggunakan artis-artis berbau porno.

Sementara itu, kepada penderita HIV/Aids, negara harus melakukan pendataan konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HOV/Aids untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena negara wajib menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan negara wajib menggratiskan biaya pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan, peribadatan, dan  keterampilan.

Di sisi lain, negara wajib mengerahkan segenap kemampuannya untuk membiayai penelitian guna menemukan obat HIV/Aids. Dengan demikian, diharapkan penderita bisa disembuhkan.

Oleh: Zainra Palembani

 (mahasiswa Sastra Rusia, Pegiat Gerakan Hidup Tanpa Maksiat)

0 komentar:

Posting Komentar

isi komentar anda yang sopan dan jujur ya!!!!

BM
krelzz