Meneladani Kesederhanaan Para Khalifah

Filosofi-filosofi sesat dalam sistem politik demokrasi telah
menyesatkan banyak politisi yang terlibat dan berkecimpung di
dalamnya. Sebagai permisalan konsep dasar demokrasi 'kedaulatan di
tangan rakyat' telah menjadikan banyak politisi muslim terjebak dalam
kesyirikan dan dosa. Mereka melegislasi perundangan dan hukum
berdasarkan selera dan keinginan mayoritas bukan berdasarkan al Quran
dan as Sunnah. Disadari atau tidak para politisi ini telah menjadikan
manusia, tepatnya diri mereka sendiri sejajar dengan Allah sebagai
pembuat hukum nau'dzubillah! Mereka pun telah berdosa karena produk
undang-undang yang mereka sepakati banyak bertentangan dengan
keyakinan dan hukum-hukum yang seharusnya mereka laksanakan atau
diingkari sebagai muslim

Adagium "tidak ada lawan abadi, tidak ada kawan abadi yang ada
hanyalah kepentingan abadi" telah menjadikan para penganut dan pejuang
demokrasi bersikap munafik sepanjang kehidupan politik mereka.
Politisi dan partai yang semula menyerukan Islam, tanpa harus merasa
berdosa mengumumkan bahwa syariat Islam tidak lagi cocok diterapkan di
negeri ini. Bersekutu dengan para politisi dan partai yang sekuler
bukan lagi perkara yang harus dipersoalkan sepanjang hal itu dilakukan
demi suara mayoritas dalam pemilu.

Para politisi dan pejabat dalam sistem demokrasi tidak lagi memandang
jabatan dan kekuasan sebagai amanah yang kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah SWT yang tidak ada
pembela pada hari itu kecuali amal kebaikan yang telah dilakukannya
semasa hidup di dunia.

Bagi mereka, jabatan adalah identik dengan prestise, martabat,
kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Makanya gaya hidup
mereka pun harus menyesuaikan dengan citra tersebut. Wajar jika mereka
berebut untuk mendapatkannya. Dengan begitu, bukan saja mereka akan
menjadi kaya raya dan hidup bergelimang dengan kemewahan tetapi juga
menjadi selebriti, terkenal, dan dalam waktu sekejap menjadi orang
yang dihormati. Lengkap dengan privasi dan pengawalan yang ketat.

Walhasil, gaya hidup mewah mewarnai kehidupan hampir semua penguasa
kaum Muslim. Mulai dari pakaian, kediaman, kantor hingga mobil dinas
dengan harga ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini tidak bisa
dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap kedudukannya.

Kesederhanaan Khalifah Abu Bakar ash Shidiq r.a

Berbeda dari falsafah-falsafah politik dalam system demokrasi,
falsafah politik dalam sistem Khilafah Islamiyah telah membantu
politisi yang hidup di dalamnya tetap bertaqwa dan bersikap amanah
dalam memegang jabatannya.

Jabatan dan kekuasaan adalah amanah. demikian salah satu falsafah
politik dan jabatan dalam Islam. Hal ini sebagaimana Rasulullah SAW
nasehatkan kepada Abu Bakar ra:" "Hai Abu Bakar, urusan kedudukan itu
adalah untuk orang yang tidak menginginkannya, bukan untuk orang-orang
yang menonjol-nonjolkan diri dan memburunya. Ia adalah bagi orang yang
memandang kecil urusan itu dan bukan bagi orang yang mengulur-ulurkan
kepalanya untuk itu."

Rasulullah pun sudah menjelaskan: "Sesungguhnya kepemimpinan itu
adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu
dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta
melaksanakan tugas kewajibannya." (HR. Muslim).

Bertolak dari falsafah ini Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq di hari
pembaitannya berpidato di hadapan rakyatnya "Hai umat, aku telah
diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku
bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar
dukunglah bersama-sama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku,
betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus adalah amanat, sedang bohong
dan dusta adalah penghianatan."

Pidato beliau ini bukanlah pencitraan dan lipstick semata. Selama
beliau berkuasa dengan berbagai prestasi yang dicapainya beliau tetap
sederhana jauh dari sikap berfoya-foya dan pamer kekayaan. Dengan
penuh ketaqwaan beliau tetap waspada dan berhati-hati terhadap amanah
kekuasaan yang dipegangnya.

Kesederhanaan beliau nampak dari sepenggal kisah berikut ini. Alkisah,
suatu hari Abu Bakar keluar ke Pasar Madinah memakai baju dari kulit
kambing. Ketika kejadian itu dilihat keluarganya, mereka buru-buru
datang kepada Abu Bakar dan berkata: "Hai khalifah, engkau
sungguh-sungguh membuat malu kami di mata kaum muhajirin, Anshar, dan
orang Arab." Lalu Abu Bakar menjawab: "Apakah kamu bermaksud agar aku
menjadi seorang Raja yang angkuh di zaman Jahiliyah dan angkuh di
zaman Islam?"

Ketika Abu Bakar hendak meninggal, ia berkata kepada putrinya Aisyah:
"Hai Aisyah, unta yang kita minum susunya, juga bejana tempat kita
mencelupkan pakaian, serta baju qathifah yang saya pakai, semuanya
hanya dapat kita gunakan selama saya berkuasa. Dan bila aku meninggal,
seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar." Maka ketika Abu bakar
meninggal, Aisyah mengembalikan semua barang tersebut kepada Umar bin
Khaththab.

Kisah yang lainnya, tatkala seorang wanita kampung bernama Unaisar
berkata: "Hai Abu Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami
memerah susu kambing seperti sebelum menjadi khalifah?" Jawab Abu
Bakar: "Insya Allah aku akan tetap bersedia menolong kamu."
Demikianlah sosok Abu Bakar sebagai kepala negara yang telah berhasil
menaklukkan dua kerajaan besar (Syiria dan Persia) masih menyediakan
waktu untuk memeraskan susu kambing untuk para wanita sekampungnya.

Kesederhanaan Khalifah Umar Bin Al Khaththab r.a

Kesederhanaan Abu Bakar sebagai pemimpin Negara menjadi suri tauladan
bagi para khalifah setelahnya. Umar bin al Khathab khalifah setelahnya
dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dalam mentaati syariah Islam
dan tegas pula dalam hal menjaga diri, keluarga dan para pejabat di
pemerintahannya untuk tidak menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan
pribadi.

Umar bin al Khathtab pernah memaksa putranya Abdullah bin Umar untuk
segera menjual unta gemuk putranya itu yang digembalakan di tanah
milik Negara dan mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam kas
Negara (baitul maal). Khalifah Umar tidak menginginkan anak-anaknya
bersikap aji mumpung memanfaatkan fasilitas Negara selama beliau
berkuasa.

Kesederhanaan beliau juga tercermin dalam kisah berikut ini. Suatu
saat, sejumlah Sahabat di antaranya Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zubair
bin Awwam dan Thalhah ra berunding untuk mengusulkan agar santunan
untuk Khalifah Umar ra dinaikkan karena dianggap terlalu kecil. Namun,
tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut
kepada Khalifah Umar ra yang terkenal sangat tegas dan 'keras'. Mereka
khawatir usulan itu tidak diterima. Akhirnya, mereka menemui Hafshah
ra, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak
lain putri Umar ra. Saat Hafsah menyampaikan pesan mereka terkait
dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar tampak
seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya, "Siapa
yang berani mengajukan usulan itu?"

Hafshah tidak segera menjawab, selain berkata, "Berikan dulu pendapat Ayah."

Umar ra berkata, "Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya
pukul wajah-wajah mereka!"

"Hafshah, sekarang coba engkau ceritakan kepadaku tentang pakaian
Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau
makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,"
kata Umar lagi.

Hafshah menjawab, "Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju
berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat
menerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari
tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau
adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat
empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas
tidur dan separuh lagi beliau jadikan selimut."

"Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka, Rasulullah SAW telah
mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang
ada demi mendapatkan akhirat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau.
Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir. Musafir
pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian
pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di
tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan.
Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu
dengan mereka. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak
keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka," tegas Umar lagi.

Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah
bin Abi Farqad ra. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau
ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras
sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. "Andai saja engkau
membeli makanan dari tepung yang empuk," kata Uthbah.

Khalifah Umar malah bertanya, "Apakah setiap rakyatku mampu membeli
tepung dengan kualitas yang baik?"

"Tentu tidak," jawab Uthbah ra.

"Kalau begitu, engkau telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh
kenikmatan hidup di dunia ini," tegas Umar.

*****

Umar bin Al Khaththab tidak hanya memberlakukan kesederhanaan pada
dirinya semata, namun juga terhadap para pejabat di pemerintahannya
sebagaimana kisah diatas.

Itulah Khalifah Umar ra., penguasa Muslim yang wilayah kekuasaannya
saat itu adalah seluruh jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian
Afrika. Kebe-saran kekuasan beliau tentu jauh lebih besar daripada
kekuasaan para raja Arab saat ini. Namun, semua itu ternyata tidak
otomatis menjadikan beliau kaya-raya serta bergelimang harta dan
kemewahan, sebagaimana para penguasa Arab saat ini; juga sebagaimana
penguasa dan para pejabat Muslim di negeri ini, yang hampir setengah
rakyatnya (sekitar 100 juta orang) tergolong miskin.

Kesederhanaan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib (sa), selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah
orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud
bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau
berkata, "Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat
perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan
minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan
orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan." (Biharul Anwar, jilid
40, hlm. 326)

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) memakai pakaian yang keras, yang
dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga
dikatakan, "Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?" Beliau
berkata, "Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab
khusyuknya hati dan tawadhu', menyampaikan manusia kepada tujuan,
merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan.
Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya." (Biharul Anwar, jilid
4, hlm 323)

Dalam suratnya kepada Usman bin Hunaif, Imam Ali (sa) menyatakan:
"Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya
ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah 'merasa cukup' dengan dua
pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun,
kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam
menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah (kesucian diri) dan
kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit
pun dan dari ghanimah (harta rampasan perang), aku tidak menyimpan
sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian
tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul
Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan
hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan?
Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang
enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan
rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa
depannya." (Nahjul Balaghah, surat nomor 45)

Di bagian lain dari surat yang sama, beliau menyatakan: "Apabila
meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah
disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu
tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada berbagai
jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yaman tidak mempunyai
harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan
perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara
di sekelilingku, banyak perut yang lapar dan kerongkongan yang haus."
(Nahjul Balaghah, surat 45)

******

Demikianlah tauladan kesederhanaan para pemimpin dalam system Khilafah
Islamiyah. Mereka adalah para pemimpin yang faqih dalam agama,
memiliki keimanan yang kokoh terhadap akhirat. Cakap dalam memimpin
dan memberi tauladan kepada para pegawai dan pejabat di bawahnya
beserta segenap rakyatnya. Mereka adalah para pemimpin yang dicintai
oleh rakyatnya disegani para lawannya. Hanya musuh-musuh Alloh saja
yang membenci keberhasilan mereka.

Pemimpin dan pejabat Negara yang demikian tidak akan pernah ada dalam
system rusak seperti demokrasi sekarang ini. Yang terjadi sebaliknya
orang yang secara pribadi sholeh tidak akan bisa lepas dari debu-debu
kesesatan demokrasi pada saat mereka berkecimpung di dalamnya. Wallohu
'alam bii ash shaawab.

0 komentar:

Posting Komentar

isi komentar anda yang sopan dan jujur ya!!!!

BM
krelzz