Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional.
Teori Monisme dan Dualisme:
Ø Monisme: hukum internasional & hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem, yaitu hukum pada umumnya.
Ø Dualisme: hukum internasional & hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda sama sekali, hukum internasional berbeda secara intrinsik dengan hukum nasional.
Teori Dualisme:
Ø Triepel (1899): Perbedaan menurut Subyek Hukum (HN: Individu. HN: negara) & Sumber-sumber Hukum (HN:kehendak negara. HI: kehendak bersama negara-negara). Anzilotti (1928): Perbedaan menurut asas fundamental (HN:ketaatan perundang-undangan nasional. HI: pacta sund servanda). Kedua ahli di atas termasuk aliran Positivis.
Ø Perbedaan lainnya didasarkan pada sumber formal sistem hukum (HI: hukum kebiasaan, traktat. HN: undang-undang, yurisprudensi.)
Teori Monisme:
Ø Didasarkan pada analisis ilmiah terhadap struktur intern sistem hukum itu.
Ø Hukum merupakan satu kesatuan tunggal dari peraturan hukum yang mengikat negara-negara, individu, ataupun kesatuan-kesatuan bukan negara.
Ø HI & HN merupakan bagian dari himpunan peraturan yang universal yang mengikat semua oknum, baik secara kolektif maupun secara individual. Individu menjadi pokok pangkal dari semua sistem hukum.
Pengutamaan (Primacy):
Ø Primacy pada HI atau HN?
Ø Doktrin ‘Hirarki’ Kelsen. Analisis struktural atas HI & HN: “Asas-asas hukum ditentukan oleh asas-asas lainnya yang menjadi sumber dan sebab kekuatan mengikat asas hukum itu”.
Ø Postulat dasar: dari asas ke asas, dari peraturan ke peraturan yang lebih tinggi dan seterusnya sampai akhirnya mencapai asas atau kaidah fundamental tertinggi yang merupakan sumber dan dasar dari semua hukum.
Ø Kelsen termasuk penganut Primacy Hukum Nasional.
Masalah:
1. Konstitusi negara bisa berubah.
2. Negara baru harus menerima aturan pergaulan masyarakat internasional.
Primacy Hukum Internasional: Hukum Nasional memiliki kebebasan tetapi tunduk pada HI yang membatasi. Masalah: Letaknya supremasi HI.
Teori Transformasi dan Adopsi:
Ø Pelaksanaan HI oleh pengadilan nasional memerlukan adopsi spesifik (specific adoption) / inkorporasi spesifik oleh dan kedalam HN.
Ø Dalam hal Traktat, perlu ditransformasikan terlebih dahulu kedalam HN.
Ø Syarat formal dan substansial.
Ø Dasar teori: sifat konsensual HI.
Ø Teori Transformasi:
Ø Teori Delegasi. Oleh penentang teori Transformasi.
Praktek oleh Negara-negara:
Ø Inggris: mengakui eksistensi HI sejauh tidak bertentangan dengan HN (melalui pengundangan oleh Parlemen) atau telah dinyatakan oleh badan peradilan nasional. Terhadap traktat diberi pengakuan oleh HN dan Ratu (melalui Parlemen).
Ø AS: Hukum kebiasaan langsung diinkorporasikan sebagai hukum federal yang tidak tertulis. Namun terhadap traktat sangat berbeda: tergantung sifat traktat yang self-executing & non-self executing. Dalam Konstitusi AS, Article 1 section 8, memberikan kekuasaan kepada
Ø Negara-negara lain: Bervariasi.
Ø Pengadilan Internasional dan Hukum Nasional:
Ø Pengutamaan hukum nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional dalam hal adanya pertentangan dengan hukum internasional tidak mempengaruhi kewajiban negara itu untuk menunaikan kewajiban-kewajiban internasionalnya.
Ø Apapun bentuk Hukum Nasional & Konstitusi sebuah negara, tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk menyimpangi perjanjian internasional atau melanggar aturan internasional. Contoh: dalam Pengadilan Penjahat Perang Dunia II di Nürnberg, Jerman. Pengadilan menolak alasan bahwa pembunuhan terhadap tawanan perang diijinkan oleh hukum nasional dari pemerintah Nazi Jerman. Pengadilan menyatakan bahwa hukum tersebut dibatalkan dan tidak berlaku (null and void) karena bertentangan dengan aturan-aturan sah mengenai peperangan. Pengadilan juga berpendapat bahwa individu yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan dan melaksanakan hukum tersebut bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hukum internasional.
Ø Sekarang ini, pengadilan-pengadilan hak asasi manusia internasional sering menyatakan hukum nasional tertentu tidak sesuai (incompatible) dengan aturan-aturan internasional dan bisa memberikan kompensasi kepada mereka yang hak-haknya dilanggar.
Konsep Oposabilitas:
Ø Starke: dalam sengketa di mahkamah internasional antara negara A & B, dimana A berpijak pada suatu landasan untuk mendukung tuntutannya, negara B dapat mengusahakan suatu perlawanan yaitu “menentang” (oppose) negara A, dengan mencari suatu asas, lembaga, atau rezim di bawah hukum nasional negara B untuk menumbangkan landasan argumentasi negara A.
Ø Sebagai prinsip umum, jika asas, lembaga, atau rezim nasional adalah sesuai dengan hukum internasional, maka ini dapat dipakai secara “sah” menentang negara A untuk menyangkal dasar tuntutannya, tapi jika tidak sesuai maka hal-hal itu tidak dapat digunakan untuk “menentang”.
1 komentar:
MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675
Posting Komentar