Kegalauan Aqidah akibat Demokrasi

Muhammad Mursyid (Aktivis Masjid Universitas Padjadjaran)

Setelah berakhirnya pemilukada gubernur Jawa Barat yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung PKS dengan persentase 32.39 % dari sekitar 64% pemilih di Jawa Barat yang menggunakan hak pilihnya. Layar televisi nasional dengan tampilan TV Pemilu kembali diramaikan dengan perhelatan pemilu tingkat provinsi, kali ini Sumatera Utara menjadi ajang perhelatan partai-partai berlomba menuju kepemimpinan tertinggi di Sumatera Utara.

Berbeda dengan Jawa Barat dengan pilihan gubernur yang cukup variatif sehingga warga Jawa Barat bisa memilih sesuai dengan selera. Entah itu dari partai biru, merah, kuning ataupun tanpa diusung partai apapun. Kali ini warga Sumatera utara tidak diberikan pilihan se-variatif Jawa Barat. Hanya ada dua pilihan pasangan calon gubernur.

Warga Sumatera utara dilanda ketika dua pasangan tersebut sejatinya tidak melulu membawa nama partai lagi. Dua pasangan itu berbeda kubu dari segi Agam, yang satu Islam yang satu non islam (Nasrani). Maka tidak heran, isu ke agama-lah yang jadi opini umum di tengah masyarakat. Yang mana dari kedua representasi agama ini yang akan memimpin Sumatera Utara.
Calon Pemimpin Orang Kafir Adalah Akibat Demokrasi

Secara logika sederhana memang seakan kegalauan tersebut bisa masuk diakal. Mau dibawa ke mana umat muslim yang ada di Sumatera Utara jikalau yang memimpin mereka sebagai gubernur adalah pasangan yang Nasrani (kafir).

Namun jika dilihat lebih mendalam, harusnya umat islam sadar jikalau sistem demokrasi sekuler inilah yang menyebabkan seorang nun muslim bisa menduduki jabatan publik setinggi itu. Dalam demokrasi di Indonesia, tidak ada satupun undang-undang yang menyatakan jika pemimpin (daerah maupun pusat) wajib seorang muslim. Mengapa? Wajar, karena memang Indonesia bukan negara yang menerapkan sistem pemerintahan islam (khilafah).

Kegalauan yang melanda umat islam mesti dikaji dengan dalam, dan semua ini terjadi bukan karena calon gubernur yang tidak variatif. Tapi tidak sadarnya umat islam akan solusi dari islam sendiri delman bentuk sistem kepemimpinan islamnya (khilafah).

Pikiran masyarakat menjadi buntu dan seakan tanpa solusi islam, ketika dihadapkan dengan situasi yang seakan sulit, seakan bertaruh hidup dan mati jikalau terjadi yang memimpin adalah pasangan dari calon non muslim. Padahal sejatinya, semua itu terjadi karena sistem ini, bukan karena personalnya.

Orang Kafir dilarang memimpin umat Islam

Allah telah mensyariatkan kepada umat islam, jikalau haram hurumnya menjadikan nun muslim menjadi pemimpin (lihat QS. AL Maidah : 51). dan hal tersebut mempunyai implikasi yang jelas, jika aturan menganai hal itu mesti ada dan diatur dalam undang-undang negara.

Persoalannya saat ini. Tidak ada satupun negara yang menerapkan aturan tersebut. Aturan tersebut sangat tidak mungkin dibuat dalam sistem demokrasi, karena jikalau terjadi hal itu akan memberangus kebebasan warga negara dan menghantam prinsip egaliternya demokrasi, bahwa semua warga negara baik itu muslim atau non-muslim punya hak Aung sama untuk menjadi pemimpin (daerah maupun pusat).

Penerapan Islam Secara Kaffah adalah Satu-satunya Solusi

Kegalauan warga Sumatera Utara mungkin saja terjadi didaerah lain di Indonesia, bahkan di negeri muslim yang menganut sistem demokrasi sekuler yang memmisahkan kehidupan negara dan agama.
Ketika hukum Allah tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, orang kafir bisa seenaknya mengambil kekayaan yang dimiliki oleh umat islam, menhisap darah, tenaga, pikiran bahkan kemampuan-kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh umat islam diambil, termasuk menjadikan mereka pemimpin umat islam.

Maka, satu-satunya solusi yang akan menuntaskan permasalahan umat yang kompleks, tidak hanya kegaauan aqidah seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Adalah dengan menerapkan Islam secara total dalam institusi politik yang satu-satunya disyariatkan Allah dan Rasulnya, yaitu Khilafah. (mm)

0 komentar:

Posting Komentar

isi komentar anda yang sopan dan jujur ya!!!!

BM
krelzz