Cermin

Cermin

Oleh : firman Taqur*

Kini bagiku kesendirian tak lagi mampu mendatangkan sebongkah inspirasi apalagi segudang obsesi. Malah kesendirian sekarang hanyalah frustasi yang tak kunjung henti. Dulu, kesendirian semacam dunia percumbuan dengan seefisod cerita atau sekedar sebait puisi tentang cinta.

Tapi sekarang, diri seakan tanpa imaji, buntu nan beku. Untuk menulis sekata makna saja rasanya tak ada ide apalagi merangkai sebaris cerita. Huh, inspirasiku sepertinya telah habis atau mungkin aku telah kehilangan kata.


Malam merangkak hitam. Di luar sunyi merayap senyap, tak aku dengar lagi instrumen malam di atas dahan atau dari balik rimbunnya dedaunan. Atau sekedar menikmati gemerincik air hujan sisa senja yang memainkan melodi pengharapan.

Gambar-gambar yang menggelayut mantap di paku pada dinding beton kamar hanya menemaniku dengan diam. Meski dulu gambar-gambar itu adalah sumber inspirasi, bahkan penampar motivasi untuk menjalani hidup penuh ambisi. Tapi kenapa malam ini mereka seakan membisu? Dan memang dari dulu juga bisu, tak pernah berkata-kata apalagi bercerita.

Jarum jam menuding angka dua, pertanda malam sedang berada di puncak kelam. Aku pandangi jam di atas meja kayu itu, jarumnya tak pernah berhenti, kecuali aku hentikan sendiri atau batu batereinya memang sudah habis. Tapi meskipun aku matikan, toh waktu tetap berlalu, karena saat dihidupkan lagi, atau diganti batu batereinya dengan yang baru, aku harus menyesuaikan arah jarumnya mengikuti waktu yang sedang berjalan.

Jarum jam itu seakan ingin memberitahu diri bahwa waktu memang tak pernah berhenti apalagi mati, selalu mengingatkan jiwa akan rotasi hidup ini. Kehidupan nyata berjalan, siang dan malam adalah bukti kehidupan tak pernah diam. Bagi sebagian orang siang adalah perjuangan dan malam sebuah perenungan. Eksistensi manusia untuk hidup adalah terciptanya harmonisasi antara siang dan malam; antara perjuangan dan perenungan.

Itulah hidup, sebuah rotasi, sebuah perjalanan. Siang dan malam adalah siklus keharusan yang silih berganti. Kemarin.. hari ini.. esok ataupun lusa adalah siklus keharusan.

Aku hari ini bukanlah aku kemarin, dan aku esok pasti tidak akan seperti aku hari ini. Aku lahir, tumbuh dan berjuang dengan segala kemampuan dan keterbatasan. Dulu aku dapat berkata namun tak bisa kumakna, dulu aku bisa berbicara namun tak mampu bercerita, sekarang aku hebat bercerita namun selalu sarat dusta.

Jarum jam tak...tak... berdetak. Aku jadi bertanya pada diri sendiri, bertanya tentang hidupku? Bertanya tentang nasibku? Bertanya tentang segala budi baikku?. Bagiku hidup adalah perjuangan, nasib adalah tantangan, dan budi baik adalah kebanggaan, tapi kenapa lidah ini selalu kaku tuk bertanya? Bertanya tentang segala dosa hidupku? Aku selalu tak pernah bisa menanyakan kepada diri ini akan dosa-dosa hidupku.

Aku seperti sedang berjalan di atas rel, berjalan di antara dua bantalannya yang entah kapan akan bertemu; di antara cita dan realita, antara idelisme dan keinginan. Inikah dunia yang selama ini aku damba, dimana penghargaan menjadi sebatas kemunafikan, dan pengharapan hanyalah penantian yang sia-sia.

Sungguh, aku menjadi takut menghadapi esok, aku kalut menunggu lusa. Mentari yang terbit tenggelam hanyalah rotasi tak berarti, karena aku berada di dunia hampa arti. Aku mencoba berdiri dengan nurani, namun aku tak lagi punya nurani, aku ingin berlari dengan harga diri, namun harga diri itu entah aku simpan dimana, atau mungkin telah tergadaikan keinginan.

Aku jadi ingat pada malam dingin diakhir Januari. Di sudut Taman Ismail Marzuki aku takjub mendengar Taufiq Ismail membaca puisi.

Fariruddin Attar bangunlah pada malam hari
Dan dia memikirkan tentang dunia ini
Ternyata dunia ini
Adalah sebuah peti
Sebuah peti yang besar dan tertutup di atasnya
Dan kita manusia berputar-putar di dalamnya
Dunia sebuah peti yang besar
Dan tertutup di atasnya
Dan kita terkurung di dalamnya
Dan kita berjalan-jalan di dalamnya
Dan kita beranak di dalamnya
Dan kita membuat peti di dalamnya
Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini …

Peti!, hm, hidup memang sebuah peti! Tapi petiku sudah lama terkunci, dan aku lupa dimana kunci itu aku simpan. Saat aku temukan ternyata kunci itu telah patah menjadi dua, akupun terkurung di dalamnya. Sampai kapan; entah. Selamanya; juga entah.

Temaram perlahan merangkak pada ujung yang kelam. Aku masih bersemedi mencumbu sepi, tak ada kawan tak ada lawan perbincangan. Jarum jam sudah menuding angka empat kurang seperempat, masih terlalu dini untuk berimajinasi atau sekedar berencana menggurat agenda.

Dengan tarikan napas panjang aku bangkit dari tiduran jemu, menuju cermin yang menggelayut simetris pada paku yang menancap mantap ditembok berlapis adukan semen. Dari pantulannya jelas tampak seraut wajah yang dulu begitu kharismatik dan tulus. Bahkan salah seorang gadis pernah memuji bahwa wajah itu begitu manis menggemaskan.

Tapi kenapa malam ini, cermin itu menampakkan pantulan yang kusam dan suram, pijar dirona wajahnya terlihat memudar, sorot matanya yang tajam menghujam kini terlihat nanar tak berbinar.

Raut muka itu tampak menggurat kelam, meskipun terlihat jelas masih lengkap tanpa cela. Tak ada yang hilang... kedua bola mata coklatnya, hidungnya yang hampir sedikit mendekati agak mancung, pipi hitamnya yang penuh dengan bekas jerawat cinta yang tak pernah terwujudkan, bibir tebalnya, serta puluhan jenggot keramatnya yang masih bergelayut saling berpelukan.

Sungguh masih lengkap tak ada yang hilang. Namun pantulan cermin itu seakan ingin memberitahu diri, bahwa cahaya ketulusan yang dulu memancar, ternyata kini entah kemana. Mungkinkah telah dicuri ambisi atau keinginan?

Aku masih berdiri memandangi nurani, memandang dan terus memandang wajah yang penuh perbuatan. Kemana ketulusan, kemana wibawa, kemana kharisma, kemana itu semua. Aku ingin menangis di pagi yang belum bermentari ini, namun laki-laki tak boleh menitikkan air mata, itu aib namanya

Balubur, Bandung
15 Nov’04

*Penulis adalah seorang dosen muda dan editor

2 komentar:

ratu maya mengatakan...

keren alur ceritanya ..... simple tapi ngena ....

andrea wangsa mengatakan...

cerpen yg jujur ....

Posting Komentar

isi komentar anda yang sopan dan jujur ya!!!!

BM
krelzz