Bersungguh-sungguh menjalani ketaatan

Iman seorang Muslim memang acapkali mengalami pasang-surut. ”Al-Iman yazid wa yanqush (Iman itu bertambah dan berkurang),” demikian kata Baginda
Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan antara lain oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman. Karena itu, tak sedikit Muslim yang tidak selalu berada dalam puncak
kesungguhan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Kebanyakan mereka bahkan sering berada dalam level terendah—titik nadir—ketaatan.
Di sinilah pentingnya setiap Muslim untuk selalu melakukan mujahadah an-nafsi (memerangi hawa nafsu) agar  ia  bisa  selalu  bersungguh-sungguh  dalam
menjalankan berbagai ketaatan kepada Allah SWT. Allah SWT  berfirman  (yang  artinya):  “Orang-orang  yang bermujahadah di jalan Kami pasti akan Kami tunjuki ke jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah  selalu  beserta orang-orang yang berbuat kebajikan” (TQS al-Ankabut: 69).
Setiap Muslim wajib terus-menerus berada dalam ketaatan  kepada  Allah  SWT  selama  hayat  dikandung badan,  sebagaimana  firman-Nya  (yang  artinya): “Beribadahlah engkau kepada Tuhanmu hingga datang al-yaqin (maut) kepadamu” (TQS al-Hijr: 99).
Ketaatan sesungguhnya mencakup semua hal yang wajib  dan  yang  sunnah.  Yang  wajib  jelas  tak  boleh ditinggalkan.  Yang  sunnah  pun  jangan  disepelekan. Keduanya merupakan sarana yang bisa mengantarkan pada taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT (HR al-Bukhari).
Sayang,  karena  faktor  kesibukan  duniawi  atau faktor kemalasan, banyak individu Muslim yang tidak selalu bersungguh-sungguh menjalankan ketaatan ini. Padahal mereka sehat dan punya banyak waktu luang. Namun, semua itu sering tak termanfaatkan dengan baik, kecuali untuk urusan dunia ataupun hal yang sia-sia. Padahal Baginda Rasulullah SAW telah mengingatkan, ”Ada  dua  kenikmatan  yang  sering  tak  dihargai  oleh kebanyakan  manusia:  sehat  dan  waktu  luang.”  (HR  al-Bukhari).
Terkait kesungguhan dalam ketaatan kepada Allah SWT  ini  tentu  kita  pantas  malu  dengan  Baginda Rasulullah SAW. Meski beliau sudah dijamin masuk surga, ibadah beliau kepada Allah SWT sungguh luar biasa, seperti  orang  yang  paling  takut  terhadap  azab-Nya. Dalam  hal  ini,  Ummul  Mukminin Aisyah RA pernah bertutur: Baginda Rasulullah SAW senantiasa menunaikan shalat  malam  hingga  sering  kedua  kakinya  bengkak-bengkak (karena begitu lama beliau berdiri, pen.). Aku pun bertanya kepada beliau, ”Mengapa engkau melakukan ini semua, duhai Rasulullah, padahal Allah benar-benar telah mengampuni dirimu, baik terkait dosa masa lalu maupun dosa  yang  akan  datang?”  Baginda  Nabi  SAW  balik bertanya, ”Tidak bolehkah kalau aku ini menyukai untuk menjadi  seorang  hamba  yang  bersyukur?!”  (Mutaffaq 'alaih).
Demikianlah Baginda Rasulullah SAW. Sebaliknya, diri  kita  yang  tak  dijamin  masuk  surga  sering  malah bermalas-malasan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah  SWT.  Di  sisi  lain,  kita  tidak  jarang  malah  'rajin' melakukan kemaksiatan kepada-Nya.
Memang, tidak mudah kita meneladani ketaatan Baginda Nabi SAW. Sebab, jalan ke surga sering terhalang oleh berbagai onak dan duri, sebaliknya jalan ke neraka malah  dihiasai  oleh  ragam  syahwat  (kenikmatan dan kesenangan  dunia). Demikian sebagaimana  sabda Baginda Nabi: ”Neraka itu dihiasi oleh ragam kesenangan dunia (syahwat), sementara surga tertutupi oleh hal-hal yang tidak disukai.” (Mutaffaq 'alaih).
Makna di balik ungkapan Baginda Nabi SAW ini adalah: Kita hanya mungkin selamat dari azab neraka jika kita banyak meninggalkan kesenangan dunia, baik yang mubah (halal), makruh, apalagi yang haram. Sebaliknya, kita hanya mungkin bisa masuk surga dengan justru melakukan  banyak  hal  yang  sering  tidak  kita  sukai: kesungguhan  dan  kesabaran  dalam  menjalankan ketaatan.
Di  dalam  banyak  haditsnya  Baginda  Rasulullah banyak  mendorong  setiap  Muslim  untuk  selalu bersungguh-sungguh  dalam  menjalankan  ketaatan. Beliau, misalnya, bersabda, ”Jenazah itu biasa diiringi oleh tiga hal: keluarganya; hartanya; dan amalnya. Dua hal akan kembali. Satu hal akan tetap tinggal. Keluarga dan hartanya  kembali,  sementara  amalnya  tetap  tinggal (menyertai jenazah).”  (Mutaffaq 'alaih).
Hadits ini secara tersurat mengingatkan kita agar bersungguh-sunguh dalam memperbanyak amal salih karena itulah yang akan menjadi teman setia kita saat kita wafat dan menghadap Allah SWT kelak, bukan keluarga atau harta; kecuali—sebagaimana sabda Baginda Nabi SAW—anak-anak  yang  shalih,  ilmu  yang  pernah diamalkan dan harta yang pernah disedekahkan sebagai amal jariah.
Baginda  Rasulullah  SAW  juga  pernah  bersabda, ”Hendaklah  engkau  banyak  bersujud. Sebab, tidaklah engkau bersujud satu kali kepada Allah,  kecuali  Dia mengangkat  kedudukanmu  satu  derajat  sekaligus menghapus  dari  dirimu  satu  kesalahan/dosa).”  (HR Muslim).
Semoga  kita  termasuk  orang  yang  selalu bersungguh-sungguh  dalam  menjalankan  ketaatan kepada Allah SWT. Amin. [] abi 

Sumber : www.mediaumat.com

0 komentar:

Posting Komentar

isi komentar anda yang sopan dan jujur ya!!!!

BM
krelzz